Kamis, 18 September 2014


MERAIH SURGA, MENJAUHI NERAKA


Mau, mau, mau, begitulah kebiasaan Ibu Siamang dari hari ke harinya. Ini mau, itu mau. Apa yang dilihat : mau. Apa yang dirasa : mau. Apa yang didengar : mau. Apa yang dipegang ? mau, mau, mau. Itulah sebabnya Ibu Siamang dipanggil 'Bu Mau, Mau ! oleh warga di Kampung Utan.

Diiringi Trio Betet : A'at, I'it, E'et, yang (katanya) sahabatnya, kemauan 'Bu Mau Mau ! semakin besar, semakin besar setiap saatnya. Bak pemandu sorak, mereka mendukung, mendorong, menyokong 'Bu Mau, Mau ! Untuk tetap mau, selalu mau, berusaha mau ! Keras, keras, keras mewujudkan semua kemauannya.

Bagaimana caranya ? Ya, terserah ia sajalah !, ya, suka-suka sajalah !

Terperangah !, Pak Siamang melihat tingkah istrinya. Terengah ! , ia terengah-engah membayar, terus membayar 'kemauan' istrinya, baik dengan hartanya, dayanya, jiwanya. Itulah sebabnya Pak Siamang dipanggil Pak Ngah !, Ngah ! kemudian.


C elaka, oh celaka terjadi ketika Amal Beramal, Ayo Beramal ! mewabah di Kampung Utan. Semua warga ingin, mau ! menjadi warga berpunya, yang beramal, ayo beramal ! Begitupun dengan 'Bu Mau, Mau !

Di kompori Trio Betet : A'at, I'it. E'et, 'Bu Mau, Mau ! rumasa menjadi yang berpunya, paling berpunya, betul-betul berpunya ! Sehingga wajar ! sewajarnya, pantas ! sepantasnya, harus ! seharusnya, ia beramal besar !, sebesar-besarnya, luas !, seluas-luasnya.

Beramal segini kurang, segitu kurang, “Ah, tambah, tambah lagi dong!”, 'Bu Mau, Mau ! merajuk suaminya. Terperangah, terengah !, Pak Ngah !, Ngah ! menimpalinya. “Tak ada uang !, tak ada lagi uang sayang ...!”, ia berusaha mengendalikan pengeluaran istrinya.

Ah, tak peduli !, 'Bu Mau Mau ! tak peduli !

Apalagi setelah Trio Betet : A'at, I'it. E'et menularkan wajah tak percaya ! Ah, sungguh tak percaya ! “Memang uangnya kemana ?” lancang Bu Mau, Mau ! menuduh suaminya rampok, perampokl !, merampok jerih-payahnya sendiri.

Ah, ribut !, tak mau ribut-ribut, Pak Ngah !, Ngah ! terengah ! Terengah marah. terengah kesal. terengah sebal. Ia terengah-engah menyerahkan seluruh tabungannya kepada istrinya. Ah, tabungan : ludas, dalam sekejap. Amal-beramal, ayo beramal !

Mengamat sikap heroik 'Bu Mau, Mau ! Tak kuranglah mulut manis pemandu sorak Trio Betet : A'at, I'it. E'et. Mereka memuji-muja membesar-besarkan hatinya,

“Hidup 'Bu Mau, Mau ! Pahlawan Amal-beramal, Ayo Beramal ! di Kampung Utan“, begitulah mereka menyoraki (katanya) sahabatnya.


C elaka oh celaka terjadi lagi ketika Sumbang Menyumbang, Mari Menyumbang mewabah di Kampung Utan. Menyumbang untuk kaum papa, tak berpunya ! Untuk membangun sekolah !, perpustakaan, meningkatkan mutu pendidikan !

Ah, tentu saja 'Bu Mau, Mau ! ingin, mau ! menyumbangkan segala-galanya.

Setelah menjadi Pahlawan Amal-beramal, Ayo Beramal ! 'Bu Mau, Mau ! bernapsu, sangat bernapsu, begitu bernapsu untuk menjadi Pahlawan Sumbang-menyumbang, Mari Menyumbang di Kampung Utan.

Betul !, ia ingin, mau ! menjadi duta pendidikan ! Itupun tak luput dari dukungan, dorongan, sokongan pemandu soraknya, Trio Betet : A'at, I'it, E'et.

Tabungan : ludas ! “Lha, mau menyumbang pakai apa ?”, Pak Ngah !, Ngah !, setengah sebal, setengah bertanya menyahuti kemauan istrinya. Tak percaya, tak berdaya, ia diperdaya istrinya.

Tabungan mereka ludas, masa depan merekapun : ludas, begitulah yang diyakininya.

"Dengan harta ! Dengan menjualnya ! Dengan mengobralnya !” sambar istrinya, cepat !, tepat ! menohok jantung hati suaminya. Ah ... Terperangah ! Pak Ngah !, Ngah ! terengah-engah, mengeluh, melenguh, mengaduh.

Satu harta dijual !, diobral ! satu bagian hatinya dicabut !, dirabut ! Seluruh harta dijual !, diobral ! seluruh bagian hatinya dicabut !, dirabut ! Harta amblas ! Hatinyapun amblas. Lha apalagi yang dimilikinya ?

Mengamat sikap heroik 'Bu Mau, Mau ! Bertambahlah mulut manis Trio Betet : A'at, I'it. E'et. Mereka memuji-muja membesar-besarkan hatinya nya.

“Hidup 'Bu Mau, Mau ! Pahlawan Sumbang-menyumbang, Mari Menyumbang, duta pendidikan di Kampung Utan” begitulah ketiganya menyoraki (katanya) sahabatnya.


C elaka oh celaka lagi-lagi terjadi ketika sedekah-bersedekah, mari sedekah, ayo bersedekah mewabah di Kampung Utan. Katanya untuk kebahagiaan dunia-akhirat, untuk meraih surga, menjauhi neraka. 

Setelah memperoleh kebahagiaan dunia, menjadi Pahlawan Amal-beramal, Ayo Beramal ! dan Pahlawan Sumbang-menyumbang, Mari Menyumbang, 'Bu Mau, Mau ! ingin, mau ! memperoleh kebahagiaan di akhirat.

Ia ingin, mau ! menjadi Pahlawan Sedekah-bersedekah, Mari Sedekah, Ayo Bersedekah ! Ia ingin, mau ! meraih surga, menjauhi neraka.

Itupun tak luput dari dukungan Trio Betet : A'at, I'it, E'et. yang juga ingin, mau ! mengarungi surga, menghindari neraka.

Mereka yakin, percaya, dengan terus menempeli 'Bu Mau, Mau !, yang mau, rela, bersedia berkorban lahir bathinnya, merekapun akan dapat berkahnya.

Tabungan : ludas, harta : amblas, lha mau menyumbang pakai apa lagi ? Sepertiga bertanya, sepertiga ternganga, sepertiga tak percaya, Pak Ngah !, Ngah ! menyahuti kemauan istrinya.

Tak lagi terperangah, terengah-engah, ia hanya cemas, bingung, menerka-nerka apa yang akan dilakukan istrinya.

“Menjual rumah ! Meninggalkan kampung ! Tinggal di hutan ! “, kata 'Bu Mau, Mau ! Ah, terperangah !, tak percaya !, tak hanya Pak Ngah !, Ngah !, tetapi juga Trio Betet : A'at, I'it, E'et yang (katanya) sahabatnya.

“Sebanding, itu sebanding, sangat sebanding ! Untuk meraih surga, menjauhi neraka, wajar ! sewajarnya, pantas ! sepantasnya, harus ! seharusnya, kita berkorban segala-galanya”, kata ''Bu Mau, Mau !, diamini Trio Betet : A'at, I'it, E'et, tetapi disumpahi suaminya : Pak Ngah !, Ngah !

Tabungan : ludas, harta : amblas, rumah : bablas, lha masa bisa meraih surga, menjauhi neraka ? bukannya malah meraih neraka, menjauhi surga ?

Mengamat sikap heroik Bu Mau, Mau ! Bertambah-tambahlah mulut manis Trio Betet : A'at, I'it. E'et. Mereka memuji-muja membesar-besarkan hatinya, 

“Hidup 'Bu Mau, Mau ! Pahlawan Sedekah-bersedekah, Mari Sedekah, Ayo Bersedekah ! di Kampung Utan.

 Hidup 'Bu Mau, Mau ! yang telah memperoleh kebahagiaan dunia-akhirat, meraih surga menjauhi neraka. Hip .. hip .. hurah, hurah, hurah !” begitulah ketiganya menyoraki (katanya) sahabatnya.


C elaka oh celaka tak terjadi di hutan, dimana 'Bu Mau, Mau ! dan Pak Ngah !, Ngah ! tinggal. Tempat itu terlalu damai, terlalu segar, bebas polusi ! untuk dikenai wabah apapun.

Betul ! Bak surga ! Surga bagi Pak Ngah ! Ngah ! yang berbahagia bisa mendengar berisik suara burung, gemersik suara serangga, krincik suara air sungai, serintik suara tetesan lembut embun-embun di pagi hari. Terlalu surga untuk dipercaya ! 

Tetapi buat 'Bu Mau, Mau ! ? Ah, entahlah ...

Katanya ia telah kehilangan kemauannya, mungkin karena terlalu banyak, amat banyak, begitu banyak, yang tak bisa diperolehnya (harap maklum :  tinggal di hutan sih).

Iapun telah kehilangan (katanya) para sahabatnya, Trio Bebek : A'at, I'it, E'et yang biasanya mendukung, mendorong, menyokongnya.

 Lha, kemana sih mereka ?

Kini 'Bu Mau, Mau ! dipanggil Nenek Siamang, bukan Nyonya atau Ibu Siamang lagi, mungkin karena suka murung menyendiri, masam menutup diri. Wajahnya suka ditekuk-tekuk, tubuhnya dibungkuk-bungkuk.

Betul ! bak siamang yang rubuh tertimpa langit, tak mampu berdiri, karena tak ingin bangun lagi. Lha, kemana ya surga yang pernah diraihnya ?

30 April 2009



Selasa, 11 Februari 2014


Ommo Hélem : Kéré Tapi Kécé






Kemarin-kemarin : sakit kepala !, pusing-pusing, begitulah keluhan Wak Ommo Tikus dari hari ke harinya. Keruan saja, Pak Singa bingung blangsatan.

Ia takut bin khawatir Wak Ommo mogok !, mangkir!,  tak mau mengambil sampah di Kampung Utan lagi. Waduh, siapa yang nanti ‘kan menggantikannya ? Petugas sampah sulit dicari di Kampung Utan. Nampaknya warga lebih suka membuang sampah daripada membersihkannya.

Karena keluhan Wak Ommo jadi,  semakin jadi, Pak Singa semakin rungsing, pusing dibuatnya. Diobati dengan obat bebas dari kios, toserba bahkan apotik, duh, “Aduh !”,  pusingnya “Tak hilang-hilang !”, katanya.

Dibawa ke dokter ? Duh, pusingnya, jadi !, semakin menjadi-jadi !, “Takut disuntik !”, katanya. Dibawa ke dukun ? Waduh, pusingnya, jadi !, terus menjadi-jadi !,  karena disembur rerempahan : “Bau !”, katanya, Wak Ommo mabok-kleyengan, “Dingin !”, tambahnya, ia meriang-gemetaran.

Lha, pakai apa lagi dong ?

Pak Singa bingung, Wak Ommo lebih bingung, Pak Singa pusing, Wak Ommo lebih pusing. Hampir-hampir putus asa, eh,  suatu hari Wak Ommo malah mengikat kepalanya. Betul !, dengan bandana !, pinjaman dari pengojek disekitar rumahnya. “Ademan !”, katanya, “Tak begitu pusing lagi !”, tambahnya.

Hah ?

Hah ?, semakin hah ?, ketika besok-besoknya Wak Ommo mengganti bandananya dengan hélem di kepalanya !, betul !, topi pelindung para pengojek, ketika ngider, ngepot di jalan raya. “Enak !”, katanya. “Pusingnya hilang  !”, tambahnya.






Betul !, sejak hari itu, bahkan sampai sekarang Wak Ommo selalu memakai hélem ketika berburu sampah dimana-mana, kemana-mana di Kampung Utan. Ia riang, girang, cekatan bergerak, bahkan berlari, melompat ! dengan hélem di kepalanya.

Keriangan Wak Ommo menjadi bahan pembicaraan di Kampung Utan. Warga senang, sekaligus geli melihatnya. Mereka jadi gemar membelikan hélem buatnya. Betul !, yang beragam merek, warna, maupun modelnya.

“Hélem pembalap !”, kata Wak Ommo itulah yang paling disukainya, paling diimpikannya.  “Waduh !”,  ketika ia mendapatkannya dari bung Momon, montir tikus, ia langsung memakainya, lalu menempelkan stiker bertuliskan namanya : “OMMO HÈLEM”, disamping stiker lainnya yang bertuliskan :  “KÈRÈ TAPI KÈCÈ”.

Lihatlah !,  ia bangga betul dengan hélem itu. Setiap melangkah, kaki-kakinya seakan melayang di udara. Setiap melayang, melebar, menebarlah senyumnya di angkasa. Wow !

‘Tak pusing lagi nih yé … ?, Wak Ommo  tidak, apalagi Pak Singa  ! Sudah lupa tuh …

Januari, 2011



Kamis, 23 Januari 2014

Ngidam Kue dan Es Krim


“Perut Mak suka bergerak-gerak sendiri, lalu terasa panas sekali”

Beberapa bulan belakangan ini, Dokter Babon tak bisa tidur siang. Gara-garanya, pasien lamanya Mak Gajah selalu mengunjunginya, justru di jam istirahatnya.  Keluhannya selalu sama. Katanya ada naga di dalam perutnya. Naga itu suka menggeliat kalau kelaparan, lalu megap-megap kalau kehausan. “Perut Mak suka bergerak-gerak sendiri, lalu terasa panas sekali”

Untuk meyakinkan dokternya, ia kerap mengasongkan-asongkan perutnya, meminta-minta diperiksa : begah, buncit, besar, memang, seperti balon ! Sejujurnya, Dokter Babon lelah meyakinkan : "Tak ada mak !, tak mungkin ada !", tetapi Mak Gajah selalu bersikukuh dengan keyakinannya. "Ada !, pasti ada !", katanya.

Ditekan, diraba, dirasa-rasai, perut Mak Gajah sudah berulang kali. Begitupun di foto, dites di laboratorium, hasilnyapun nihil-nihil saja. Begahnya ?, memang !  Buncitnya ?, iya ! Besarnya ?, sudah pasti ! Tetapi isinya ?, tak ada apa-apanya !

"Tak ada mak, tak mungkin ada naganya !"

Setelah kembali, kembali lagi, berminggu-minggu lamanya, Dokter Babon mulai merasa letih sekali. Pasti ada cara untuk menghentikan kunjungannya ini. Tetapi apa ?, bagaimana caranya ? Mak Gajah sudah sepuh, sudah waktunya ia diurus anak-cucunya. Dimana mereka ?, kemana semua ?, katanya mereka hidup sendiri-sendiri, di lain kota. Kasihan Mak Gajah pasti sepi hari-harinya !

Sepi ?. Kesepian ! Ya, ampun mungkin inilah pangkal masalahnya. Mendengarkan ! Mungkin itulah obat satu-satunya ! Ya, sejak itulah  Dokter Babon menyediakan waktu untuk mendengar keluh-kesahnya,  terutama tentang naga di perutnya.

"Mau dioperasi ? Naganya dikeluarkan, mak ?", suatu hari Dokter Babon menggodanya sambil menakut-nakutinya dengan pisau operasi. Pucat pasilah wajahnya si Mak. "Tidak. Tidak perlu, nak !",  katanya.   "Cukup dikasih yang manis-manis sedikit. Makan, makanan !. Nanti naganya tidur, lelap !, tak’kan bangun-bangun lagi !", mata Mak Gajah  memandang penuh harap, cemas ! kepada dokternya.

Makan, makanan ?. Dokter Babon terbetik untuk berpikir-pikir, lalu membuka-buka kartu riwayat penyakit pasiennya. Penyakit gula !  Aha !, ternyata Mak Gajah pernah sakit gula. Di kartunya tertulis semua makanan yang menjadi pantangannya, terutama yang manis-manis. Seperti menemukan cahaya, Dokter Babon cepat-cepat membuat resep. "Tukar resep ini Mak !. Jangan di toko obat, tetapi di Toko Kue Andi Ayam !", begitu katanya.

Toko Kue Andi Ayam ? Siapa pula yang tidak mengenalnya ? Disanalah kue terenak, es krim terlezat dijual, satu-satunya di Kampung Utan. Bertahun-tahun Mak Gajah ingin mencicipinya, tetapi selalu terhalang penyakitnya. Tak percaya, mata Mak Gajah memandang takjub, bulat-bundar, berpendar-binar ke dokternya. Bulak-balik dibacanya resep itu, sunguh tak bisa dipercaya !

Bayangkan, disana tertulis : Coklat cap Nona 2 batang, Black Forest 2 potong, lalu Es Krim coklat, stroberi dan vanila 1 cup. Wow ! Air liurnya mengucur deras, tak sengaja ia bercipak-cipak, menelan ludah. Nyam, nyam, nyam. Lezat !

"Makan saja itu mak, cukup seminggu sekali !" Menahan tawa Dokter Babon menutup pembicaraan. Ia menarik napas lega, melirik pasiennya yang berbahagia. Sejak itulah, ahooi ... Dokter Babon bisa tidur siang lagi. Ia malah bisa mendengkur, panjang .. sekali, tiada satu pasienpun yang mengganggunya lagi.

"Ya, ya, ya, boleh kue, es krim, coklat Mak, tapi jangan terlalu banyak "

Mak Gajah masih suka datang, tetapi disaat jam prakteknya. Ia suka mengajukan pertanyaan seperti ini : “Nak dokter, boleh tidak Mak mengganti black forest dengan fruit cake, es krim dengan milk shake atau coklat bantangan dengan coklat berbintik kacang ? Mak sudah bosan nak !”

Biasanya Dokter Baboon menjawab : “ya, ya, ya.. boleh, tetapi jangan terlalu banyak, ya !”, pura-pura acuh Dokter Baboon menjawab, padahal  jauh di hatinya ia tertawa-tawa riang.   Ia sungguh gembira, karena Mak Gajah benar-benar bahagia. Sejak diperbolehkan menyantap makanan yang manis-manis, ia sehat lahir batinnya. Tak ada lagi keluhan tentang naga di perutnya, walaupun memang masih begah, buncit, besar,  seperti balon!

“Masih ada naga diperutnya, Mak ?”, ditanya begitu jangan-jangan ia menjawab : "Naga ?, naga apa ?, sudah lupa tuh ..!". Iya, betul !, seperti iklan di televisi (Mei 2005)

Rabu, 23 Mei 2012

'Menggarap' Gigi Mimi



Gigi Mimi Marmut goyang !, bergoyang-goyang. Duniapun ikut goyang !, bergoyang-goyang. Mimi Marmut menangis berlari kesana-kemari, berteriak, menjerit-jerit, membuat abah, emak, dan  saudaranya goyang !, bergoyang-goyang.

Rumah Mimi Marmut riuh, gaduh !, tetangganya resah, gelisah :  wah, wah, wah, “Ada apa ya ?”, “Kenapa ya ?”, “Mengapa ya ?”, “Aya naoon iyeuh ... ?”, Ki Emon Marmut terbangun linglung, bingung.

Huntu !”, “Huntu Neng Mimi”, Kang Eman Marmut,  mencoba menenangkan abahnya, tetapi  ah, terlambat, Ki Emon sudah mrungkut, terlelap lagi. Lalu Kang Eman Marmut bergegas, pergi ke rumah Mimi.

Horor ! Teror !, betul ! seperti itulah keadaannya disana. Mimi Marmut kejang mungkin karena takut, kebingungan ! Abah, emak, dan saudaranya kejang-kejang mungkin karena bingung, ketakutan ! Kang Eman Marmut bego, terlongo, “Rek dikumaha'keun nya' ?”

Berapa saat vakum ! bisu !, gagu !, kelu !  Sampai “Ah !”, bak tersengat lebah tiba-tiba Wak Maman Marmut, abah Mimi bangun dari kebingungannya.

“Cari benang, benang plastik ! Yang panjang, yang kuat, ayo, cepat, cepat, cepat !”, itulah yang dimintanya kepada Kang Eman Marmut yang masih saja terlongo bego.  Untunglah ia segera beranjak, sebelum dihardik majikannya.


Sepeninggal penjaga rumahnya, Wak Maman Marmut berbicara ini-itu dengan Mak Encim Marmut, istrinya. Semula istrinya iya, iya saja, tetapi kemudian resah, gelisah, lalu eh, marah-marah.  Suaminya tak mau kalah, ia memaksakan diri menerangkan ini-itu, itu-ini, sampai akhirnya istrinya : menyerah, pasrah. Duh, aduh, ada apa ya ?

Wah, ternyata gigi Mimi Marmut mau digarap ! Dicabut paksa dengan tarikan benang dan hentakan pintu, bukannya pergi ke dokter gigi. Katanya itu tehnik pengobatan masa lalu, ketika abah dan emaknya seumur Mimi Marmut dulu.

Ah, masa iya ?  Dengan pengobatan masa kini saja, pergi ke dokter gigi Mimi Marmut takut setengah mati, apalagi dengan pengobatan masa lalu yang tak jelas juntrungannya ! Keruan saja Mimi Marmut menolak, menjerit-jerit, menangis-nangis. Ia lebih dari takut, tak berdaya, kalut !

Wak Maman Marmut, abahnya berbicara ini-itu, panjang-lebar, panjang-lebar. Mak Encim Marmut, emaknya berbicara itu-ini, tinggi-rendah, tinggi-rendah. Mereka merayu mendayu-dayu, mereka memaksa mendesak-desak, mereka mengancam mengeram-ngeram, agar Mimi Marmut mau, mau, mau digarap giginya dengan cara mereka.

Alasannya macam-mcam : ke dokter gigi mahallah, jauhlah, ribetlah, nanti hujan besar, dokter giginya sakit, katanya : peralatannya kotor, bisa-bisa kena penyakit menular and so on, and so on, and so on. Akhirnya tak ada pilihan ! Mimi Marmut kalah, menyerah, pasrah ! ia  tak bisa lagi menyanggah, lelah, terlalu lelah.


T akut-takut Mimi Marmut duduk di kursi pesakitan yang disediakan Kang Eman Marmut.  Badannya bergetar, jiwanya menggelepar-gelepar. Ia berusaha cool, cool, cool, karena abahnya bilang begitu, karena emaknya bilang harus begitu. “Tidak apa-apa, tidak apa-apa, tidak sakit, tidak sakit !”, hibur mereka berkali-kali, tetapi jantung Mimi Marmut terus berlompat-lompatan, ia ingin buang air terus-terusan.

Mimi Mamut tercekik habis ketika ia dikat ! Bayangkan, Di-IKAT  erat-erat ! Ia mau menangis, atau menangis-nangis, dia ingin menjerit, atau menjerit-jerit. Tetapi air matanya kering, kerontang ! suaranya hilang, entah ke mana. Akhirnya pasrah tak pasrah Mimi Marmut menyerah diikat Kang Eman Marmut, disaksikan emak dan abahnya. Aduuh, duh, duh, duh.

Kenapa diikat ?, mengapa diikat ?, emak dan abahnya menjelaskan agar ia tak terjungkal, terlempar, terpelanting ke depan atau terbanting ke belakang, apapunlah ! Mimi Marmut tak mau mendengar apa-apa lagi, selain menyebut 99 nama dewa pelindungnya yang tak pernah dipahaminya : “Kemana mereka ?, kenapa disaat yang paling dibutuhkan mereka tak pernah ada ujudnya ?”

Mimi Marmut harus membuka mulutnya, lebar !, selebar-lebarnya, besar !, sebesar-besarnya. Gigi Mimi Marmut bergoyang, diikat benang semakin bergoyang-goyang. Mimi Mamut mau menangis, mau juga menjerit, atau malah nekat berteriak-teriak, tetapi silent is gold katanya, ya hiyalah diam-diam sajalah, memangnya mau apa ?

Kang Eman Marmut berusaha manis, semanis-manisnya, abahnya berusaha baik, sebaik-baiknya, emaknya berusaha sabar, sesabar-sabarnya, sementara Mimi sebal, sesebal-sebalnya.


Gigi Mimi Marmut sudah diikat, benangnya diulur, panjang, sepanjangnya. Benangnya dibawa keluar kamar tidurnya, lalu diulur ke  lorong kamarnya. Benangnya dibawa ke ruang makannya, lalu diulur ke ruang tamunya, akhirnya benangnya diikat ke pintu pagar  di halaman rumahnya. Haduh, haduh, haduh, ngapain juga sejauh itu sih ?

Abahnya tak menjawab, apalagi emaknya, dan jangan tanya Kang Eman Marmut  penjaga rumahnya. “Tiasa naon emang mah neng ?” Mimi Marmut sudah lebih dari tegang, atau setegang-tegangnya. Rasa-rasanya  ia sudah pingsan berkali-kali.  Ia sudah mati-hidup, mati-hidup, mati-hidup, keluar-masuk neraka puluhan kali.

99 Nama dewa pelindung tak lagi diucapkan, diganti oleh 99 nama ayahnya, kakeknya, buyutnya, atau oleh 99 nama anaknya, cucunya, cicitnya. Lha, memangnya Mimi Marmut tahu nama mereka ?  Ngarang sajalah ! Bukannya dia lagi tegang, jauh melebihi setegang-tegangnya ?

Dikejauhan, diluar kamar tidurnya Mimi Marmut mendengar aba-aba abahnya, lalu kerikit derik pintu pagar di halaman rumahnya, tentu saja diselingi suara berisik para tetangganya. Di kamar ia mendengar desah napas emaknya, diselingi batuk-batuk Kang Eman Marmut, penjaga malamnya.

Dihitungan ke-3, Mimi Marmut siap  merasakan sakit yang menjerat-erat, seperti naik pesawat yang harus mendarat darurat, nyungsep masuk ke neraka yang terdalam, atau  seperti pesawat ulang alik yang hilang kendali, Mimi Marmut terbang landas, terlontar lagi-lagi masuk ke neraka yang jauh, juah lebih dalam lagi.

Mimi Marmut terus berdoa, entah untuk siapa, pastinya bukan untuk 99 dewa pelindung beserta keluarganya lagi, karena ia sudah putus harapan dengan mereka. Ia kadung menganggap telinga mereka tak berdaun semua.

Aba-aba 1,2,3 berlalu sudah, begitupun dengan derik kerikit pintu pagar di halaman rumahnya. Mimi Marmut menunggu, terus menunggu, masih menunggu. Kapan nyungsepnya ?, kapan terlontarnya ?, mana nerakanya ?, lho kok tak sakit-sakit ya ?, sambil menutup mata  Mimi Marmut meraba-raba,menduga-duga. Detik demi detik rasanya sejam, seharian, semingguan, sebulanan, setahunan, seabadan, lha, lha, lha, kapan juga aku sampai di sana, merasakan sakit terhebatnya  ?

Penasaran Mimi Marmut membuka matanya, ia melihat emaknya tersenyum, abahnya tertawa, Kang Eman Marmut tak mengatakan apa-apa. Lalu abahnya memperlihatkan gigi yang baru saja copot dari gerahamnya. Lha kok tak terasa ?  Tetangganya berhamburan masuk ke kamar tidurnya, bertanya ini-itu yang tak dimengertinya. Hanya satu pertanyaan yang dipahaminya tetapi tak ingin dijawabnya : “Gimana ?”, “Sakit engga ?”

Betul ! Mimi Marmut ingin merahasiakan jawabannya. Bisa saja pengobatan lama : mencabut gigi dengan tarikan benang dan hentakan pintu tidak menyakiti gerahamnya, tetapi sungguh menyakiti hatinya. Merasa ditipu, tertipu, ia mutung-pundung, merajuk- mogok, sembunyi di balik pintu. Sampai kapan ? Lihat saja nanti ... 26/02/2009